Saturday, July 2, 2011

Politik Dalam Seni dan Sastra di Indonesia

Politik Dalam Seni dan Sastra di Indonesia

Oleh Samson, SE 

Terwujudnya kebudayaan baru merupakan keinginan untuk melenyapkan ketimpangan, penyelewengan terhadap kehendak rakyat dan penindasan yang terjadi terhadapnya, sebuah kebudayaan yang tercipta berkat dan atas kerjakeras seniman dan sastrawan yang menceburkan dirinya secara utuh bersama dengan kekuatan rakyat, itu adalah sebuah pernyataan politik seniman dan sastrawan karena perjuangan yang dilakukan bukan hanya memerlukan kekuatan pendobrak yang mengepal tinju saja namun juga tentara kebudayaan yang menggenggam pena!!!!!


Upaya untuk menampikkan kenyataan dalam proses berkarya seorang seniman atau satrawan dipengaruhi oleh keadaan sekelilingnya, masyarakat yang ada disekelilingnya merupakan sebuah kenaifan. Suka atau tidak, lingkungan dimana sastrawan atau seniman itu hidup, mempengaruhi alam pikir, imajinasi serta tentu berdampak kuat terhadap proses penciptaan sebuah karya. Membicarakan rakyat dengan segala pertentangan didalamnya merupakan sebuah pernyataan dan penyajian politik yang dapat kita telisik kemana sesungguhnya keberpihakkan dari sebuah karya dan tentunya keberpihakkan dari seniman dan sastrawan yang bersangkutan, lebih jauh lagi alam pikir seorang seniman dan satrawan tersebut dalam menghasilkan sebuah karya tentu merupakan pencerminan langsung dari kesadaran yang di milikinya. Sebuah karya sastra atau karya seni mempunyai maksud dan peruntukkan, pertanyaan besar yang timbul didalam karya tersebut adalah; untuk apa dan diperuntukkan bagi siapa karya tersebut?. Berangkat dari pertanyaan sederhana tersebut tentu banyak hal yang dapat diperbincangkan, mulai dari salah paham sampai kepada paham yang salah yang timbul dari perbincangan yang dilakukan. 

Perdebatan soal politik dalam lingkup seni dan sastra bukan merupakan hal baru dan sebuah pembahasan yang terbilang langka dinegeri kita ini. Sejarah panjang perdebatan soal ini dimulai sejak lahirnya kekuatan organisasi kebudayaan yang menjamur pada era soekarno( orde lama).mulai dengan organisasi yang mentasbihkan dirinya sebagai organisasi kebudayaan dengan jargon "politik sebagai panglima" dan dikuatkan dengan tesis seni untuk rakyat sampai dengan organisasi yang menolak mencampuradukkan seni dengan politik dengan tesis "seni untuk seni". Dari perjalanan perdebatan tersebut banyak memberikan kontribusi positif bagi perkembanganseni dan sastra diindonesia khususnya pada lapangan olah pikir dan kreasi dalam seni dan sastra. Meskipun perdebatan tersebut diakhiri dengan fakta sejarah yang memilukan, dimana terjadinya peristiwa yang sampai hari ini menjadi "teka-teki" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu "pembantaian massal" yang dilakukan oleh rezim militeristik soeharto. Banyak pekerja seni dan sastra yang ditangkap, diculik dan bahkan hilang atau lebih tepatnya dihilangkan karena diasosiasikan dengan sebuah partai politik kala itu yang menjadi lawan langsung dari kepentingan kelompok Soeharto. Dari sekelumit sejarah tersebut tidak dapat ditolak bahwa keterkaitan antara politik dengan seni dan sastra merupakan sebuah relasi kuat dan saling pengaruhi dalam perkembangan arah bangsa kedepan.

a. sepintas sejarah perspektif politik dalam seni dan sastra diindonesia.

Pengintegrasian antara politik dengan seni dan sastra di Indonesia tidak terlepas dari lahirnya kekuatan dan organisasi yang mempunyai watak patriotik yang bukan sebatas cinta tanah air saja namun juga semangat anti penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme serta sisa feodalisme (substansi pokok dari hal tersebut adalah cinta pada rakyat). Proses panjang rakyat Indonesia dalam merebut kemedekaan yang dicapai pada tahun 1945 tidak hanya dilakukan dengan kekuatan senjata saja namun juga kekuatan seni dan sastra sebagai tenaga pendorong dari kekuatan utama (kekuatan bersenjata) tersebut untuk dapat dipahami, sampai pada telinga dan hati rakyat yang kemudian membangkitkan kesadaran untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan yang dialami. Sebut saja Mas Marco dengan samarata -samarasanya sebagai salah satu satrawan dari beberapa sastrawan yang melakukan perlawanan terhadap kolonilalisme Belanda. Karyanya tersebut membuat gelisah sang "kompeni" yang kemudian melakukan pelarangan terhadap karya itu dengan menyebutnya sebagai bacaan liar dan dibuat oleh seorang dengan kelompok yang yang tidak bertanggung jawab. Reaksi Belanda terhadap karya-karya yang menyerang kelangsungan kekuasaan penindasan di Indonesia bukan hanya pada wilayah kekuatan senjata namun juga membuat tandingan dengan terbitnya karya-karya balai pustaka sebagai jawaban dari gerakan yang dimainkan pada wilayah kesusastraaan dan mengeluarkan pernyataan bahwa satu-satunya penerbitan yang sah dan diakui hanyalah balai pustaka. Jenis karya tersebut merupakan titik berangkat awal dari dimulainya sastra modern di Indonesia yang mungkin lebih mudah mengingatnya dengan sebutan sastra revolusioner atau mungkin sastra pembebasan dan perlawanan. Menariknya, ketika semua gerakan politik dilarang oleh penguasa kala itu banyak orang-orang revolusioner yang bergerak pada kegiatan sastra dan seni. Salah satu yang paling dikenal adalah Cak Durasim dengan ludruknya yang memainkan kisah tentang kejamnya fasisme Jepang. Sudah barang tentu karya atau produk sastra dan seni yang dihasilkan oleh Marco dan Cak Durasim berujung pada penjara. Namun pengabdian karya- karya mereka kepada pembebasan rakyat yang meminta pengorbanan kemerdekaan pribadi mereka dengan tebusan penjara tersebut membuahkan hasil pada kemudian hari. Ini dapat dilihat dari karya WR. Supratman dengan Indonesia raya sebagai lagu kebangsaan dan pertanda bagi berhasilnya proses perjuangan rakyat Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan. Hal tersebut merupakan sebuah fakta bahwa keterkaitan antara berkesenian dan membuat karya sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa jika ada sastrawan-seniman yang mentabukan diri, mentabukan sastra-seni berbicara soal politik atas nama sastra dan seni, sesungguhnya mereka tidak kenal sejarah, lupa atau sengaja melupakan sejarah perkembangan masyarakat, tidak paham sejarah sastra-seni, dan tidak lain merupakan wujud mengasingkan diri, mengucilkan secara sukarela sastra-seni dari kehidupan. 

b. untuk apa dan untuk siapa karya seni dan sastra



Sebuah karya seni dan karya sastra mempunyai maksud dan peruntukkan ketika diciptakan. Pertama-tama sekali adalah untuk sipembuatnya dan kemudian tentu untuk para "penikmat" karya tersebut(sesuai segmentasi dari corak dan watak karya). Adalah sebuah bualan yang memuakkan ketika kita mengganggap bahwa karya seni dan sastra ada yang bebas nilai dan tidak mempunyai keberpihakkan, lebih tegas lagi menjauhi keadaan kehidupan rakyat yang konkrit. Ketika karya tersebut diusahakan menjauhi kehidupan rakyat dan politknya tentu secara langsung maupun tidak langsung merupakan sebuah usaha pembelaan terhadap penindas atas keberlangsungan kekuasaannya atau penindasannya. Itu merupakan segi yang paling pokok yang terdapat dalam sebuah karya, sehingga kita dapat mengatakan dengan lebih gamblang lagi bahwa seni dan sastra mesti dan pasti berpihak atau lebih keras dan tegas lagi bahwa seni dan sastra berklas dan mempunyai keberpihakan klas. Dengan meminjam istilah george lukacs tentang gagasan kesadaran kelas yaitu sebuah konsepsi tentang kultur yang telah dipolarisasi dengan kepentingan kelas mereka, dan mereka yang menduduki posisi proletar akan lebih tersulut kesadaran kelasnya daripada kelas borjuis karena sifat mereka yang tertindas. Ide yang lain dari Lukacs adalah Refikasi yaitu tereduksinya hubungan antar manusia karena menjadi relasi alat produksi. Dalil dasar reifikasi adalah "penurunan" nilai relasi manusia yang seharusnya hangat menjadi hubungan antar "manusia" karena kepentingan ekonomi. Di dalam masyarakat modern persoalan ini menjadi sedemikan akut sehingga kita merasa terasing dengan manusia yang lain. Melihat isi dan pikiran Lukacs tersebut dapatlah ita simpulkan bahwa keberpihakan sastra dan seni dibagi menurut klas, sehingga keberpihakan dan pembelaan terhadap klas yang ada, tidak dapat tidak merupakan sebuah politik, bahkan Lukacs dengan gamblang menegaskan bawa tidak terdapat satupun produk yang bebas dari kepentingan klas sehingga adalah tidak mungkin menciptakan hubungan yang "hangat" antara manusia satu dengan yang lainnya dengan posisi klas yang berbeda. Apabila kita korelasikan dengan karya seni dan sastra yang dihasilkan si sastrawan dan seniman, bahwa menikmati karya tanpa memberikan dampak bagi geliat kehidupan adalah sebuah keterasingan yang akan berdampak fatal bagi sastrawan dan seniman yang bersangkutan . Ukuran sederhana dari karya yang baik adalah mampu membawa sipenikmat larut dalam karya tersebut, ikut dalam alur estetiknya, bahkan mungkin mempengaruhi serta merubah pola dan cara pandang sipenikmat. Itu hanya akan didapati ketika sebuah karya mengangkat sesuatu yang hidup dan berkembang dalam kehidupan rakyat dan tentu angan tentang kehidupan itu sendiri. Populernya sebuah karya tentu hanya bisa dibagi dalam dua kelompok besar, pertama yaitu populer untuk penguasa dan yang kedua bagi rakyat yang terdiri dari buruh dan tani serta intelektual dan rakyat pekerja lainnya. Yang tersebut belakangan merupakan lapisan terbesar sehingga karya akan dinikmati oleh lebih besar lapisan dan bukan tidak mungkin akan dikenang sebagai karya yang abadi dan hidup dihati dan pikiran rakyat seperti layaknya Indonesia raya, padamu negeri, karya marco dan lainnya, bahkan yang belum terlalu jauh mungkin pramoedya ananta toer. 
Sampai sekarang pelarangan terhadap karya sastra dan seni masih terjadi di Indonesia. Pelarangan terhadap buku yang dikeluarkan kejaksaan agung sampai dengan pelarangan pembuatan film yang disutradarai oleh Eros djarot masih mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Bentuk represifitas kekuasaan terhadap karya merupakan sebuah ungkapan kepentingan klasnya maka tidak dapat tidak, itu adalah politik kekuasaan dalam merespon segala macam karya yang mengganggu kepentingan klas mereka. Pertanyaan bagi kita sekarang adalah mau apa dan kemana keberpihakkan kita akan kita arahkan?apa yang akan kita lakukan?.

Politik adalah pernyataan terpusat rakyat terhadap keinginan mereka, karena rakyat adalah satu-satunya sumber dari kegiatan dari karya seni dan sastra, maka melepaskan seni dan sastra dari rakyat adalah upaya mengasingkan diri dari kehidupan. 

Samson, SE


Jakarta 12 mei 2010
(ditulis sebagai bahan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh komunitas lesehan kebudayaan /kolekan)

DEMOKRASI DAN KORUPSI SEBUAH POTRET DILEMA INDONESIA

DEMOKRASI DAN KORUPSI SEBUAH POTRET DILEMA INDONESIA

Oleh: Samson, SE



Perjuangan melawan kekuasaan 
Adalah perjuangan ingatan melawan lupa !!!
(Milan Kundera)


Demokrasi dan korupsi menjadi topik yang tidak habis-habisnya dibahas dalam kehidupan, bernegara khususnya Indonesia. Yang paling akhir dari gegap gempita demokrasi adalah pemilu 2009, yang menurut sebagian kalangan merupakan pesta demokrasi dimana rakyat dapat menentukan pilihannya dan menentukan kedepan nasib dan kehidupan rakyat, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Benarkah itu merupakan bentuk demokrasi?? Benarkah dengan demokrasi yang dipraktekkan dan dikampanyekan oleh kelompok-kelompok politik yang bersepakat dengan pemilu dapat merubah nasib rakyat???. Disisi lainnya terdapat fenomena korupsi yang sedemikian hebatnya mampu menyedot perhatian rakyat pasca pemilu 2009 yang mengantar partai demokrat sebagai partai pemenang serta mengantarkan SBY menjadi presiden untuk periode 2009-2014 (periode ke 2 pemerintahan SBY). Demokrasi dan korupsi adalah 2 hal yang sedemikian rupa digunakan oleh elit politik dan partai politik untuk merebut hati rakyat sehingga dapat menempati singgasana kekuasaan. Banyak pertanyaan muncul dikalangan rakyat tentang dua hal penting tersebut, mulai yang optimis sampai kepada yang pesimis, tentang proses demokrasi yang dijalani dan dipraktekkan dinegara tercinta ini, begitu pula dengan isu pemberantasan korupsi kedua golongan pernyataan tersebut tetap mendominasi. Pernyataan paling akhir dari dua hal yang sangat besar tersebut bermuara pada pertanyaan, akankah nasib rakyat berubah?, dapatkah cita-cita kemerdekaan tercapai? Sampai kepada pertanyaan yang sangat sinis, apakah Indonesia dan rakyatnya sudah menggenggam kemerdekaan sejati dan menjadi bangsa yang benar-benar merdeka?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dengan lugas serta kerjakeras dan tentu pula kita tidak dapat memisahkan antara demokrasi dan isu pemberantasan korupsi pada ranah yang berbeda, disebabkan kedua hal tersebut mempunyai relasi demikian kuat dan lebih jauh mempunyai sebab akibat. Sampai pada kebutuhan yang aktual demi terjemahan kasus-kasus korupsi yang mesti diselesaikan pada ranah hukum dan dipisahkan dengan proses politik yang demikian gencar dikampanyekan oleh berbagai kalangan, baik dimedia cetak maupun elektronik yang didahului dengan kampanye besar-besaran oleh kelompok politik dan para budayawan tentang pentingnya gerakan anti kekerasan untuk melakukan perlawanan terhadap koruptor.


a. tafsir ulang kemerdekaan rakyat indonesia


Perjuangan panjang rakyat melawan kekuatan kolonial diindonesia berakhir pada 1945, dengan pernyataan proklamasi sebagai bentuk pernyataan kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat dan bangsa indonesia dalam menentukan nasib sendiri dan mengelola kehidupan kenegaraan dengan mandiri. Proses perjalanan kemerdekaan sejati yang sempat dinikmati oleh rakyat Indonesia tidak berumur panjang. Akhir dari hal tersebut adalah dengan diadakannya KMB (Konferensi Meja Bundar) sebagai bentuk restorasi kekuatan ekonomi kolonial diindonesia. Sangat berlainan dengan keadaan awal kolonial Indonesia, dimana negeri imperialis membawa kekuatan bersenjatanya sekaligus dan koloni-koloninya dengan menempati wilayah teritori Indonesia, namun dengan perjanjian KMB kekuatan ekonomi konolial dipertahankan dan dikembalikan lagi dominasinya. Hal yang paling tragis dari fakta sejarah tersebut adalah pengakuan terhadap kekuasaan kolonialisme dan pengakuan bahwa Indonesia merupakan daerah jajahan dengan model baru dan bentuk baru. Inilah awal dimana Indonesia menjadi Negara setengah jajahan, satu bentuk dan model dimana kemerdekaan secara defakto dan de jure ada namun tetap dalam cebgkeraman kekuatan ekonomi colonial negeri-negeri imperialis. Model dan bentuk penjajahan gaya baru ini lebih dikenal dengan neokolonialisme. Neokolonialisme yang mencengkeram Indonesia, ini dapat terlihat dari ciri-ciri pokok keadaan ekonomi Indonesia, dimana Indonesia sebagai daerah sumber bahan mentah, daerah penanaman modal, daerah pemasaran barang jadi, daerah sumber tenaga buruh murah. Pada kondisi Indonesia kekinian terlihat banyaknya undang-undang yang ditetapkan pemerintah yang sangat jelas berpihak kepada kepentingan modal negeri imperialis, sebut saja UU-PMA (penanaman modal asing), fenomena privatisasi dll. Dominasi kekuatan modal kaum imperialis dunia tersebut dipermudah dengan bantuan tangan-tangan kotor bangsa Indonesia sendiri (komprador), corak pokok tersebut menggambarkan dengan tegas bentuk pemerintahan yang ada pada Indonesia kekinian. Bentuk pemerintahan yang mempunyai ketergantungan yang akut pada kekuatan ekonomi dan politik negeri imperialis dan menjadi hamba sahaya yang melanggengkan dan memperbesar akumulasi modal negeri tuan besarnya, tidak mempunyai kemandirian dalam menentukan nasib dan arah bangsa kedepan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan RI, sekaligus maksud yang terdapat didalam kekuatan komprador ini tentang kekuasaan politik dan ekonominya sendiri sebagai sebuah usaha mempertahankan kekuasaannya dalam kedua aspek tersebut tidak dapat ditutupi. Musuh utama rakyat Indonesia sekarang adalah kaum komprador yang mesti digantikan dengan kaum patriotik yang mempunyai semangat anti penjajahan dan anti penghisapan serta cinta tanah air, mengabdikan seluruh kekuatan yang dimiliki sepenuhnya untuk rakyat dan menyandarkan dirinya pada rakyat. 


b. demokrasi kita, untuk siapa?


“Proses demokratisasi telah dilakukan, ”setidaknya itulah hal yang selalu digemakan oleh elit-elit politik Indonesia. Hal tersebut sangat terasa sekali sejak gerakan 98 yang berhasil menumbangkan Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi dari rezim militeristik dan korup. Perkembangan demokratisas Indonesia pasca Soeharto tidak berarti ikut menggusur bahkan lebih jauh merobohkan sistem yang dibangun selama 32 tahun. Peremajaan sistem politik yang menghisap dan menindas rakyat terus dilakukan, keadaan ekonomi dan politik yang diharapkan berubah dengan tumbangnya soeharto ternyata semakin jauh dari harapan. Pertentangan gagasan perubahan Indonesia kedepan semakin menegaskan watak politik kelompok kepentingan dalam era “reformasi”. Ide dan gagasan dalam khasanah perspektif kritis dikalahkan oleh gagasan elit yang mendominasi semua media massa. Fakta sejarah tersebut tidak dapat menampikkan satu kenyataan politik yang berkembang, bahwa golongan elit yang menjadi pencoleng gagasan reformasi adalah golongan yang tidak sabar berkuasa yang melakukan perebutan kekuasan dengan menggunakan media pemilu sebagai jalan yang diretas untuk menopang seluruh tujuan kekuasaan dengan dalih bahwa jalan tersebut adalah jalan yang demokratis dan paling mungkin menghadapi krisis politik yang terjadi. Hal ini dapat kita peretentangan dengan satu pernyataan dan pertanyaan “demokrasi apa dan untuk siapa?”. Hakikat dari demokrasi yang didengungkan oleh elit dan kelompok politik oportunis tersebut berpijak pada pandangan kebebasan individualistik yang tidak mempunyai akar sejarahnya diindonesia. Demokrasi yang membawa semangat individual tersebut menghasilkan demokrasi dengan sifat liberal sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari dirinya, yang selanjutkan membangun tatatan demokrasi yang diperuntukkan kepada kaum yang pernah berkuasa atau bagi mereka yang mempunyai kekuasaan pada masa lalu baik bidang politik dan ekonomi. Ciri pokok dari demokrasi liberal tersebut adalah suatu watak politik oportunis, pragmatis, korup dan kompromis. Dalam praktek politik terlihat dengan jelas, seluruh kelompok politik yang terlibat dan menjalani demokrasi dengan tipe ini begitu mudah disuap dan berkompromi terhadap seluruh isu sosial dan politik yang pada sisi pokok merupakan hal prinsip bagi rakyat dan berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup rakyat. Pandangan individualistik dalam momentum politik aktual Indonesia yang paling dekat adalah pemilu 2009, dimana pemilu tersebut mengikutsertakan partai politik yang disangga dengan dua kekuatan pokok, yaitu kekuatan uang/modal dan popularitas. Fenomena menarik dan tegas dari dua komponen yang melekat pada partai politik tersebut adalah usaha untuk menarik sebanyak-banyak kalangan artis untuk dapat menjadi caleg dalam pemilu. Artis yang merupakan anak kandung liberalisasi terhadap seluruh proses pencekokan konsumerisme rakyat dari liberalisasi kebudayaan yang mendewakan gaya hidup hedonis, acuh terhadap lingkungan, sex bebas, budaya cupet dan instant merupakan “peluru berselaput gula” yang menghancurkan karakteristik rakyat Indonesia sesungguhnya, sehingga semakin jauh dari cita-cita menjadi orang yang merdeka, berkemandirian dan berkepribadian. Ilusi demokratisasi ini perlu dan harus dicarikan antitesanya, dimana demokratisasi dengan cakrawala dan perspektif yang berbeda. Demokratisasi yang membawa semangat kolektivisme sebagai kelanjutan dari tradisi kehidupan gotong-royong rakyat, demokrasi yang berpijak pada kenyataan konkrit dan demokrasi dan menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan bukan menjadi penonton terhadap proses politik yang terjadi, namun menjadikan rakyat sebagai satu-satunya pelaku politik, dan didalam dirinya menyimpan semangat patriotisme, semangat anti penindasan dan penghisapan dan cinta tanah air. Demokrasi tipe ini adalah demokrasi rakyat, demokrasi patriotik bukan demokrasi yang melanggengkan kekuasaan sisa feodal yang bercorak oligarkis dan demokrasi yang mengabdi pada pemegang modal, demokrasi yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dengan membuang watak kompromis, korup dan pragmatis jauh-jauh dari kehidupan rakyat. Semangat demokrasi rakyat sudah seharusnya dikobarkan sebagai jawaban terhadap keadaan dan kenyataan konkrit kehidupan berbangsa dan bernegara.


c. korupsi dan rakyat indonesia 


Berhasilnya rakyat Indonesia merebut kemerdekaan dari colonial belanda dibarengi dengan fenomena pengambilalihan seluruh sumber-sumber ekonomi yang berskala besar oleh rakyat, baik pertambangan, perkebunan dsb. Proses tersebut diakhiri dengan pengambilalihan atas nama Negara yang dilakukan oleh TNI (kala itu belum bernama TNI) kemudian dilanjutkan dengan penempatan personil TNI dalam manejerial pengelolaannya. Dari fenomena tersebutlah awal pertama lahirnya sebuah kelompok atau kaum yang menjadi pengendali birokrasi dan pada gilirannya menjadi kaum yang mengumpulkan segenap kekayaan dengan menggunakan kekuasaan birokrasi (kapitalis birokrat/kabir). Dalam makna yang sempit kabir/koruptor adalah merupakan individu atau kelompok yang berperan sebagai pengendali birokrasi yang menggunakan wewenangnya untuk mengambil dan merampok kekayaan Negara atau bekerjasama dengan pihak yang berhubungan dengan otoritas birokrasi yang dipimpinnya. 


Perkembangan dari perilaku korup ini bukan hanya dilakukan oleh aparatur Negara namun merembes sampai ketingkatan massa rakyat terbawah. Salahsatu tuntutan terhadap pemberantasan korupsi merupakan agenda pokok yang diusung oleh gerakan 98, namun seperti hipotesa yang berkembang dimasyarakat tentang karakteristik rakyat Indonesia bahwa, bahwa rakyat Indonesia mempunyai perilaku yang pemarah, pemaaf dan pelupa. Jadilah kemudian kasus-kasus korupsi menguap, hilang dan seakan terhapus oleh perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja misalnya kasus BLBI, kasus Agus condro yang fenomenal sebagai seorang yang “gentle man” yang berani keluar dan menyatakan diri berlawan dengan sistem yang mengkebiri naluri patriotismenya. Hal baru yang menjadi gonjang-ganjing terkait kasus korupsi adalah fenomena cicak vs buaya, dimana dalam kasus tersebut melibatkan lembaga Negara yang penting dalam penegakkan pemberantasan korupsi dan supremasi hukum. Sampai terbentuknya opini dan harapan yang berlebihan tentang keberadaan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi diindonesia. Statement dan kebijakan SBY dalam upaya memadamkan pertentangan hebat tesebut adalah sebuah isyarat kepada dua kelompok bertikai untuk melakukan perdamaian dengan bahasa yang bersayap dan tekanan tidak mau mencampuri proses hukum yang sesungguhnya lebih dari itu merupakan intervensi dari seorang presiden terhadap lembaga yang ada dengan tujuan meredam kemarahan rakyat, sehingga persoalan tidak menjadi persoalan antara rakyat dengan penguasa. Proses hukum Bibit-Chandra dihentikan terkait dengan statement SBY tersebut. Disisi lain terdapat kasus dimana seorang ibu mencuri 3 buah kakao dihukum pidana 6 bulan. Studi komparasi dari hal tersebut mempertegas bahwa hukum sesungguhnya tidak berlaku bagi mereka yang berkuasa, namun objek hukum semata-mata adalah rakyat. Kondisi aktual tersebut semakin menipiskan harapan dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan, lebih jauh terhadap sistem yang dijalankan. Kelanjutan dari “dagelan” yang dimainkan oleh seluruh elit kekuasaan tersebut berujung pada kasus century. Hal ini mampu menyedot perhatian rakyat, dimana banyak kelompok politik (terutama partai-partai yang mempunyai wakil disenayan) bertarung dalam kasus ini. Banyak isu dan gagasan yang bermunculan, mulai dari menonaktifan Boediono dan Srimulyani sampai dengan penggulingan terhadap SBY sebagai presiden RI. Nada miring dan minor pada proses “konstitusional” di DPR-RI berkembang sedemikian rupa dengan hipotesis bahwa kasus ini akan diakhiri dengan kompromi berbagi kekuasaan atau jabatan dan tentu saja uang ikut menyertainya. Sesuai dengan wataknya yang kompromis tentu saja hal ini bisa dan dapat menjadi parameter yang kuat. Apabila ditelisik lebih jauh, ini adalah bentuk ketidakpercayaan rakyat yang akut terhadap seluruh partai politik yang ada berdasarkan pengalaman yang didapatinya selama ini. Penyelesaian kasus ini tidak mungkin disandarkan kepada golongan yang pragmatis, korup dan oportunis, namun pertanyaan kemudian yang muncul, kepada siapa rakyat akan menyandarkan nasibnya?? Jawabannya tentu dengan perjuangan rakyat sendirilah keadaan itu dapat berubah. Upaya dan kerjakeras untuk merubah keadaan tersebut dengan menumbuhkan dan mengobarkan semangat dan budaya patriotik dikalangan rakyat sebagai jawaban terhadap keadaan dan menjadi lawan langsung dari kebudayaan liberal yang berkembang. Menetapkan musuh sesungguhnya dari rakyat Indonesia, yaitu komprador dan koruptor/kapitalis birokrat. Musuh-musuh rakyat tersebut dapat disingkirkan dari kehidupan rakyat Indonesia dengan mempertebal dan mengkokohkan jiwa patriotisme yang pada gilirannya memperjuangkan kehidupan berbangsa dan bernegara atau demokrasi rakyat sebagai antitesa dari keadaan sekarang.


Samson, SE
Jakarta 23 desember 2009 


ditulis sebagai bahan diskusi dalam seminar yang di adakan oleh HMI UIN

PANDANGAN KARL MARX SEBUAH IRONI INDONESIA

PANDANGAN KARL MARX SEBUAH IRONI INDONESIA

oleh: Samson, SE
 
 
a. Tragedi pandangan Karl Marx dalam sejarah Indonesia

Pandangan karl marx (lebih sering disebut dengan Marxisme atau Komunisme) merupakan satu dari sekian banyak hal yang mengegerkan dunia. Banyak kelompok menganggap bahwa pikiran atau pandangan Karl Marx merupakan racun yang membahayakan kehidupan manusia, Sebuah pikiran yang menganjurkan kekerasan, peperangan dan menyebar kebencian sehingga setiap pengikut anjuran dan ajaran Karl Marx layak untuk dibasmi agar tidak menularkan pikirannya kepada manusia lainnya. Tak terkecuali di Indonesia, tragedi 65 yang merupakan klimaks terhadap seluruh rangkaian kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto cs terhadap kekuasaan Soekarno diakhiri dengan pembantaian terhadap kaum komunis, atau yang disangka dan dituduh mempunyai keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia sebagai kekuatan politik pengusung ide Karl Marx.
Baru-baru ini terkuak sebuah fakta baru, bahwa Adam Malik (tokoh dan pendiri Murba dan merupakan golongan Tan Malaka) sebagai wapres pertama Soeharto menerima uang dari USA untuk melakukan gerakan pembasmian terhadap kaum komunis Indonesia serta penggulingan Soekarno. Rancangan penggulingan kekuasaan soekarno dan pembasmian terhadap kaum komunis Indonesia pada 1965 tersebut dikenal dengan nama dokumen Gillcrhis. Tragedi tersebut juga menyisakan orang-orang yang disangka dan dituduh mempunyai keterlibatan dengan PKI sebagai tahanan politik yang tidak pernah diadili dimuka peradilan, dan sampai saat ini hal tersebut tidak pernah diselesaikan. Demikian hebatnya pembasmian terhadap kaum komunis diIndonesia disinyalir 3 juta orang dibunuh sesuai dengan statement sarwo edi sebagai komandan operasi pembasmian kaum komunis Indonesia sekaligus merupakan komandan RPKAD. Pembasmian bukan hanya berupa nyawa dan harta kaum komunis namun juga buku-buku yang berbau komunis dan ajaran-ajaran Karl Marx ikut dihabiskan. Hal tersebut ditopang oleh TAP MPR no.25 th 1966 sebagai landasan hukum untuk menjustifikasi upaya terhadap perlawanan dan pembasmian ajaran Karl Marx. Semasa kekuasaan orde baru doktrin kebencian terhadap komunisme dan kelompok yang menggunakan pandangan Karl Marx terus dilakukan.
Penyebaran kebencian tersebut dilakukan dengan sangat sistematis, dimana buku-buku pelajaran sejarah anak-anak sekolah memuat bahwa kaum komunis melakukan pemberontakan, termasuk menciptakan opini bahwa orang-orang komunis adalah orang biadab yang telah melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap 7 (tujuh) jenderal lewat ditayangkannya secara rutin film pemberontakan G30-s tiap tanggal 30 september. Propaganda rezim orba tersebut mendapatkan hasil yang luar biasa, dimana terdapat penyakit komunisto phobi dikalangan rakyat Indonesia. Ukuran yang paling sederhana untuk melihat hal tersebut, ialah ketika rakyat melihat sebuah kekejaman dan kekejian serta tindakan yang buruk dalam lingkungannya dengan umpatan “dasar PKI”, atau hal lain yang diasosiasikan dengan keberadaan orang-orang yang menganut ajaran Karl Marx. Traumatik politik yang dalam diakibatkan oleh ajaran Marx tersebut masih membekas sampai saat ini.
Kejatuhan Soeharto sebagai penguasa membuat banyak bermunculan buku-buku tentang paham komunisme, walaupun tidak berlangsung panjang dan akhirnya dilakukan pembakaran dan pelarangan terhadap penjualan buku-buku tersebut. Sampai era reformasi sekarang ini aturan terhadap pelarangannyapun masih tetap ada, namun dengan kemajuan teknologi yang sangat luar biasa menembus batas negara kita dapat dengan mudah mengakses pandangan dan pikiran Marx yang dikenal dengan nama MARXISME. Generasi muda mempunyai tanggung jawab dan kepentingan serta hak untuk dapat mengetahui Marxisme agar mampu menguak tabir gelap sejarah Indonesia. Atas nama kepentingan ilmu pengetahuan dan hak mendapatkan informasi sudah saatnya kita memecahkan mitos tentang hantu komunisme tersebut dengan cara mempelajari Marxisme, yang pada gilirannya dapat melakukan perbandingan dan pengujian terhadap apa-apa yang dipelajari dari marxisme dengan opini dan doktrin terhadap wajah buruk dan bengis kaum Marxis yang selama ini di propagandakan oleh orde baru beserta kelanjutan pemerintahannya.

b. Pandangan Karl Marx

Karl Marx adalah seorang berkebangsaan Jerman yang dilahirkan dalam keluarga Yahudi pada tanggal 5 mei 1818 di tier distrik mosselle. Ayahnya bernama Herschel adalah keturunan para rabi yahudi yang pada kemudian hari beralih ke agama protestan aliran Lutheran. Membicarakan pandangan Marx yang sangat luas tidak mungkin diselesaikan dengan adanya tulisan ini. Namun sebagai awalan tentu tidak ada salahnya memberikan pengenalan tentang hal tersebut. Pandangan atau ajaran Marx yang dikenal dengan Marxisme atau Komunisme termaktub dalam manifesto partai komunis tahun 1848, merupakan sebuah pandangan yang membuat geger dunia. Sampai saat ini perbincangan dan perdebatannya tetap menjadi perdebatan yang hangat walaupun dibumbui dengan kecurigaan dan kebencian dari segolongan orang yang sesungguhnya tidak mengetahui dan mendalaminya.
Pandangan Marx bersumber dari 3 komponen yaitu filsafat, ekonomi politik dan sosialisme ilmiah. Filsafat marxisme dikenal dengan istilah materialisme dialektis, yang merupakan lawan langsung dari filsafat idealisme. Dalam perkembangan kematangan filsafatnya, Marx bertemu dengan Hegel. Sebagian kalangan menganggap bahwa filsafat Marx merupakan kelanjutan dari filsafat Hegel dikarenakan ketika Marx muda menjadi pengikut Hegel yang lebih dikenal dengan Hegellian. Filsafat materialis dealektis menurut Marx bukan saja berbeda dengan filsafat Hegel tapi juga merupakan lawan langsungnya, dengan mengatakan bahwa filsafat hegel adalah filsafat yang jungkir balik. Marx mengambil inti dialektika filsafat Hegel dan menyampakkan sisi atau inti idealismenya (lihat tulisan Marx tentang kemiskinan filsafat). Selanjutnya perkembangan filsafat materialisme yang disampaikan oleh Fuerbach merupakan filsafat materialisme yang samasekali berlainan dengan filsafat Marx, ini dapat kita temui dalam 11 bantahan terhadap tesis Fuerbach yang dikemukakan oleh Marx. Inti dari Marxisme adalah perjuangan klas yang merupakan penerapan filsafat materialisme dialektis dalam kehidupan masyarakat dan dikenal dengan materialisme historis. Perjuangan klas tersebut didapati oleh Marx dalam penelitian tentang perkembangan masyarakat, dimana marx membagi fase perkembangan masyarakat menjadi komunal primitive, perbudakan, feudal, kapitalis dan komunal modern.
Fase perkembangan masyarakat tersebut dapat terlihat dari corak produksinya (mode of production) yang masing-masing mempunyai kekhususannya pada tiap fasenya. Pada fase awal komunal primitive belum terdapat klas-klas dalam masyarakat, namun sesuai dengan kemajuan hubungan produksi dan kemajuan perkakas produksi serta pembagian kerja dalam masyarakat akhirnya masyarakat terbagi dalam klas-klas yang saling bertentangan. Dalam setiap perkembangan masyarakat pasca komunal primitive terjadi perjuangan klas dalam masyarakat, dimana klas yang berkuasa justru melahirkan klas baru yang revolusioner dan pada akhirnya menggulingkan klas berkuasa. Hal tersebut didapati oleh marx ketika terjadinya revolusi borjuis pada tahun 1789 dimana klas borjuis berhasil menumbangkan klas feudal sebagai klas yang berkuasa. Kemenangan klas borjuis tersebut membawa Perancis pada kekuasaan klas borjuis demokratis yang selanjutnya mengembangkan kapitalisme. Dengan senjata filsafat materialisme dialektis Marx menyimpulkan bahwa kapitalisme adalah bentuk masyarakat berkelas tertinggi yang mau tidak mau akan digulingkan oleh klas proletar menuju masyarakat tanpa klas. Ruang ini tentu tidak dapat menjelaskan Marxisme secara rigid karena begitu komprehensif dan luasnya. Namun diharapkan mampu menjadi pemicu dan imun yang mampu merangsang kita mempelajari Marxisme. Marxisme adalah sebuah ilmu pengetahuan yang sangat komprehensif, maka dalam mempelajari layak kita perlakukan sebagai ilmu. Dalam menemukan dan mengemukakan teorinya, marx menempuh cara kerja yang ilmiah, dimana menurut marx selalu mempunyai 5 tingkatan yaitu; penyelidikan, percobaan, pencatatan, perenungan dan yang terakhir adalah penyimpulan. Mengenai ilmu dan sarjana Marx selalu mengatakan “ilmu tidak boleh menjadi kesukaan diri sendiri. Mereka yang beruntung mampu mencurahkan dirinya pada pengudian ilmu harus yang pertama-tama menempatkan pengetahuan mereka untuk mengabdi umat manusia. Bekerjalah untuk umat manusia”.

Samson, SE

ditulis sebagai bahan diskusi dalam kuliah umum yang diadakan oleh Kedai Pemikiran

patriotisme dan internasionalisme

PATRIOTISME DAN INTERNASIONALISME*
Mao Tje-Tung

            Dapatkah seorang anggota partai komunis, sebagai seorang internasionalis sekaligus sebagai seorang patriot? Kita berpendapat bukan saja dapat tetapi juga harus. Isi konkrit patriotisme ditentukan oleh syarat-syarat sejarah. Ada “patriotisme Jepang dan patriotisme Hitler” dan ada pula patriotisme kita. Anggota partai komunis harus dengan tegas menentang apa yang dinamakan patriotisme agresor  Jepang dan patriotisme Hitler. Orang komunis Jepang dan orang komunis Jerman adalah kaum defaitis terhadap perang yang dilakukan oleh negeri-negeri mereka. Berusaha dengan segala cara supaya perang yang dilakukan kaum agresor Jepang dan Hitler itu kalah adalah kepentingan rakyat Jepang dan rakyat Jerman; semakin total kekalahan itu semakin baik. Itulah yang harus dilakukan oleh orang komunis Jepang dan orang komunis Jerman dan yang memang sedang mereka lakukan. Karena perang yang dilancarkan kaum agresor Jepang dan Jerman itu bukan saja merugikan rakyat sedunia, tetapi juga merugikan rakyatnya sendiri. Tetapi lain halnya dengan keadaan Tiongkok, Tiongkok adalah negeri yang sedang diagresi. Oleh karena itu orang komunis Tiongkok harus memadukan patriotisme dengan internasionalisme. Kita adalah kaum internasionalis dan juga kaum patriot, dan semboyan kita ialah berperang untuk tanahair melawan kaum agresor. Bagi kita defaitisme adalah suatu dosa, sedangkan berjuang untuk kemenangan perang anti Jepang adalah kewajiban yang tidak dapat dielakkan. Karena hanya dengan berperang membela tanahair barulah kita dapat mengalah kaum agresor dan mencapai pembebasan nasional. Dan hanya dengan tercapainya pembebasan nasional barulah mungkin tercapai pembebasan proletariat dan rakyat pekerja lainnya. Kemenangan Tiongkok dan kekalahan kaum imperialis yang mengagresi Tiongkok itu juga berarti bantuan bagi rakyat negeri-negeri lain. Dengan demikian patriotisme adalah penerapan internasionalisme dalam perang pembebasan nasional. Oleh karena itu  setiap anggota partai komunis harus mengembangkan insiatif mereka sepenuh-penuhnya, maju kemedan pertempuran perang pembebasan nasional dengan gagah berani dan teguh hati dan membidikkan senapan mereka kepada kaum agresor Jepang. Oleh karena itu segera setelah peristiwa 18 September, partai kita mengeluarkan seruan supaya melawan kaum agresor Jepang dengan perang beladiri nasional; kemudian menganjurkan penggalangan front persatuan nasional anti Jepang, memerintahkan tentara merah supaya mereorganisasi diri menjadi tentara revolusioner nasional anti Jepang dan maju kegaris depan untuk bertempur, menginstruksikan anggota-anggota partai kita sendiri supaya berdiri digarisdepan dalam perang anti Jepang dan membela tanahair sampai titik darah yang penghabisan. Tindakan-tindakan patriotik ini adalah wajar dan justru merupakan pelaksanaan internasionalisme di Tiongkok, sedikitpun tidak bertentangan dengan internasionalisme. Hanya mereka yang yang kacau pikirannya mengenai politik atau yang mempunyai maksud tersembunyi sajalah yang beromongkosong bahwa kita telah berbuat salah dan telah melepaskan internasionalisme.  




* Tulisan Mao Tje-Tung ditulis pada Oktober 1938, ini merupakan sub judul dan diterbitkan dalam buku pilihan karya Mao Tje-Tung jilid II oleh Pustaka bahasa asing di Peking tahun 1968  

Ya...

Aku tahu bisik kalian
Berjejal dalam baris perubahan
Meski lembayung senja samarkan mata
Warna menjadi pertanda
Bahwa kalian membangun istana
Istana megah dengan nama...

Ya...
Aku tahu setiap serpihan kata
Menepuk dada dongakkan kepala
Singkirkan cinta pada sipapa...
Dalam hening rintik kata
Karya menjadi berhala

Ya....
Aku bukan lawanmu...
Karena kita sama
Kehilangan asa karena mereka

Tundukkan kepala hujam telinga
Perlahan rajut angin perubahan
Semoga kau hancurkan istana
Istana tanpa atma dan kepala

Ya.....
Kutunggu kau tangkap halilintar
Semoga kau tidak terbakar!!!

Samson
Jakarta 27 juni 2011

Tuk: mereka yg kehilangan kepala...

Sekerat cinta tuk mereka

Dalam gemuruh ombak
Kalian nyanyikan tembang cinta
Dalam dentum senjata
Kalian toreh ribuan kata
Untuk siapa....?

Seribu kata menjadi mantra
Mantra agung yang dipuja
Mencabik langit tak kembali kebumi
Untuk siapa?....

Onggokan kata terlihat diujung sana
Setelah puas guna tak berbekas...
Mari periksa bumi...
Periksa kedalaman hati
Tak sebatang rantingpun terbakar
Meski api syair kalian gelorakan...
apa beda kalian dengan mereka...

Tak pernah mekar bunga ditaman cita
Taman yang kalian puja dan jadikan mantra...
Pengantar tidur kaum yang papa...
Apa beda kalian dengan mereka
Puaskan hati tinggalkan cita

Ingatkan diri dengan rasa dan periksa
Kalian bukan apa-apa...!!!
Apa beda kalian dengan mereka!!!

Samson
Jakarta 27 juni 2011