Saturday, July 2, 2011

DEMOKRASI DAN KORUPSI SEBUAH POTRET DILEMA INDONESIA

DEMOKRASI DAN KORUPSI SEBUAH POTRET DILEMA INDONESIA

Oleh: Samson, SE



Perjuangan melawan kekuasaan 
Adalah perjuangan ingatan melawan lupa !!!
(Milan Kundera)


Demokrasi dan korupsi menjadi topik yang tidak habis-habisnya dibahas dalam kehidupan, bernegara khususnya Indonesia. Yang paling akhir dari gegap gempita demokrasi adalah pemilu 2009, yang menurut sebagian kalangan merupakan pesta demokrasi dimana rakyat dapat menentukan pilihannya dan menentukan kedepan nasib dan kehidupan rakyat, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Benarkah itu merupakan bentuk demokrasi?? Benarkah dengan demokrasi yang dipraktekkan dan dikampanyekan oleh kelompok-kelompok politik yang bersepakat dengan pemilu dapat merubah nasib rakyat???. Disisi lainnya terdapat fenomena korupsi yang sedemikian hebatnya mampu menyedot perhatian rakyat pasca pemilu 2009 yang mengantar partai demokrat sebagai partai pemenang serta mengantarkan SBY menjadi presiden untuk periode 2009-2014 (periode ke 2 pemerintahan SBY). Demokrasi dan korupsi adalah 2 hal yang sedemikian rupa digunakan oleh elit politik dan partai politik untuk merebut hati rakyat sehingga dapat menempati singgasana kekuasaan. Banyak pertanyaan muncul dikalangan rakyat tentang dua hal penting tersebut, mulai yang optimis sampai kepada yang pesimis, tentang proses demokrasi yang dijalani dan dipraktekkan dinegara tercinta ini, begitu pula dengan isu pemberantasan korupsi kedua golongan pernyataan tersebut tetap mendominasi. Pernyataan paling akhir dari dua hal yang sangat besar tersebut bermuara pada pertanyaan, akankah nasib rakyat berubah?, dapatkah cita-cita kemerdekaan tercapai? Sampai kepada pertanyaan yang sangat sinis, apakah Indonesia dan rakyatnya sudah menggenggam kemerdekaan sejati dan menjadi bangsa yang benar-benar merdeka?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dengan lugas serta kerjakeras dan tentu pula kita tidak dapat memisahkan antara demokrasi dan isu pemberantasan korupsi pada ranah yang berbeda, disebabkan kedua hal tersebut mempunyai relasi demikian kuat dan lebih jauh mempunyai sebab akibat. Sampai pada kebutuhan yang aktual demi terjemahan kasus-kasus korupsi yang mesti diselesaikan pada ranah hukum dan dipisahkan dengan proses politik yang demikian gencar dikampanyekan oleh berbagai kalangan, baik dimedia cetak maupun elektronik yang didahului dengan kampanye besar-besaran oleh kelompok politik dan para budayawan tentang pentingnya gerakan anti kekerasan untuk melakukan perlawanan terhadap koruptor.


a. tafsir ulang kemerdekaan rakyat indonesia


Perjuangan panjang rakyat melawan kekuatan kolonial diindonesia berakhir pada 1945, dengan pernyataan proklamasi sebagai bentuk pernyataan kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat dan bangsa indonesia dalam menentukan nasib sendiri dan mengelola kehidupan kenegaraan dengan mandiri. Proses perjalanan kemerdekaan sejati yang sempat dinikmati oleh rakyat Indonesia tidak berumur panjang. Akhir dari hal tersebut adalah dengan diadakannya KMB (Konferensi Meja Bundar) sebagai bentuk restorasi kekuatan ekonomi kolonial diindonesia. Sangat berlainan dengan keadaan awal kolonial Indonesia, dimana negeri imperialis membawa kekuatan bersenjatanya sekaligus dan koloni-koloninya dengan menempati wilayah teritori Indonesia, namun dengan perjanjian KMB kekuatan ekonomi konolial dipertahankan dan dikembalikan lagi dominasinya. Hal yang paling tragis dari fakta sejarah tersebut adalah pengakuan terhadap kekuasaan kolonialisme dan pengakuan bahwa Indonesia merupakan daerah jajahan dengan model baru dan bentuk baru. Inilah awal dimana Indonesia menjadi Negara setengah jajahan, satu bentuk dan model dimana kemerdekaan secara defakto dan de jure ada namun tetap dalam cebgkeraman kekuatan ekonomi colonial negeri-negeri imperialis. Model dan bentuk penjajahan gaya baru ini lebih dikenal dengan neokolonialisme. Neokolonialisme yang mencengkeram Indonesia, ini dapat terlihat dari ciri-ciri pokok keadaan ekonomi Indonesia, dimana Indonesia sebagai daerah sumber bahan mentah, daerah penanaman modal, daerah pemasaran barang jadi, daerah sumber tenaga buruh murah. Pada kondisi Indonesia kekinian terlihat banyaknya undang-undang yang ditetapkan pemerintah yang sangat jelas berpihak kepada kepentingan modal negeri imperialis, sebut saja UU-PMA (penanaman modal asing), fenomena privatisasi dll. Dominasi kekuatan modal kaum imperialis dunia tersebut dipermudah dengan bantuan tangan-tangan kotor bangsa Indonesia sendiri (komprador), corak pokok tersebut menggambarkan dengan tegas bentuk pemerintahan yang ada pada Indonesia kekinian. Bentuk pemerintahan yang mempunyai ketergantungan yang akut pada kekuatan ekonomi dan politik negeri imperialis dan menjadi hamba sahaya yang melanggengkan dan memperbesar akumulasi modal negeri tuan besarnya, tidak mempunyai kemandirian dalam menentukan nasib dan arah bangsa kedepan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan RI, sekaligus maksud yang terdapat didalam kekuatan komprador ini tentang kekuasaan politik dan ekonominya sendiri sebagai sebuah usaha mempertahankan kekuasaannya dalam kedua aspek tersebut tidak dapat ditutupi. Musuh utama rakyat Indonesia sekarang adalah kaum komprador yang mesti digantikan dengan kaum patriotik yang mempunyai semangat anti penjajahan dan anti penghisapan serta cinta tanah air, mengabdikan seluruh kekuatan yang dimiliki sepenuhnya untuk rakyat dan menyandarkan dirinya pada rakyat. 


b. demokrasi kita, untuk siapa?


“Proses demokratisasi telah dilakukan, ”setidaknya itulah hal yang selalu digemakan oleh elit-elit politik Indonesia. Hal tersebut sangat terasa sekali sejak gerakan 98 yang berhasil menumbangkan Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi dari rezim militeristik dan korup. Perkembangan demokratisas Indonesia pasca Soeharto tidak berarti ikut menggusur bahkan lebih jauh merobohkan sistem yang dibangun selama 32 tahun. Peremajaan sistem politik yang menghisap dan menindas rakyat terus dilakukan, keadaan ekonomi dan politik yang diharapkan berubah dengan tumbangnya soeharto ternyata semakin jauh dari harapan. Pertentangan gagasan perubahan Indonesia kedepan semakin menegaskan watak politik kelompok kepentingan dalam era “reformasi”. Ide dan gagasan dalam khasanah perspektif kritis dikalahkan oleh gagasan elit yang mendominasi semua media massa. Fakta sejarah tersebut tidak dapat menampikkan satu kenyataan politik yang berkembang, bahwa golongan elit yang menjadi pencoleng gagasan reformasi adalah golongan yang tidak sabar berkuasa yang melakukan perebutan kekuasan dengan menggunakan media pemilu sebagai jalan yang diretas untuk menopang seluruh tujuan kekuasaan dengan dalih bahwa jalan tersebut adalah jalan yang demokratis dan paling mungkin menghadapi krisis politik yang terjadi. Hal ini dapat kita peretentangan dengan satu pernyataan dan pertanyaan “demokrasi apa dan untuk siapa?”. Hakikat dari demokrasi yang didengungkan oleh elit dan kelompok politik oportunis tersebut berpijak pada pandangan kebebasan individualistik yang tidak mempunyai akar sejarahnya diindonesia. Demokrasi yang membawa semangat individual tersebut menghasilkan demokrasi dengan sifat liberal sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari dirinya, yang selanjutkan membangun tatatan demokrasi yang diperuntukkan kepada kaum yang pernah berkuasa atau bagi mereka yang mempunyai kekuasaan pada masa lalu baik bidang politik dan ekonomi. Ciri pokok dari demokrasi liberal tersebut adalah suatu watak politik oportunis, pragmatis, korup dan kompromis. Dalam praktek politik terlihat dengan jelas, seluruh kelompok politik yang terlibat dan menjalani demokrasi dengan tipe ini begitu mudah disuap dan berkompromi terhadap seluruh isu sosial dan politik yang pada sisi pokok merupakan hal prinsip bagi rakyat dan berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup rakyat. Pandangan individualistik dalam momentum politik aktual Indonesia yang paling dekat adalah pemilu 2009, dimana pemilu tersebut mengikutsertakan partai politik yang disangga dengan dua kekuatan pokok, yaitu kekuatan uang/modal dan popularitas. Fenomena menarik dan tegas dari dua komponen yang melekat pada partai politik tersebut adalah usaha untuk menarik sebanyak-banyak kalangan artis untuk dapat menjadi caleg dalam pemilu. Artis yang merupakan anak kandung liberalisasi terhadap seluruh proses pencekokan konsumerisme rakyat dari liberalisasi kebudayaan yang mendewakan gaya hidup hedonis, acuh terhadap lingkungan, sex bebas, budaya cupet dan instant merupakan “peluru berselaput gula” yang menghancurkan karakteristik rakyat Indonesia sesungguhnya, sehingga semakin jauh dari cita-cita menjadi orang yang merdeka, berkemandirian dan berkepribadian. Ilusi demokratisasi ini perlu dan harus dicarikan antitesanya, dimana demokratisasi dengan cakrawala dan perspektif yang berbeda. Demokratisasi yang membawa semangat kolektivisme sebagai kelanjutan dari tradisi kehidupan gotong-royong rakyat, demokrasi yang berpijak pada kenyataan konkrit dan demokrasi dan menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan bukan menjadi penonton terhadap proses politik yang terjadi, namun menjadikan rakyat sebagai satu-satunya pelaku politik, dan didalam dirinya menyimpan semangat patriotisme, semangat anti penindasan dan penghisapan dan cinta tanah air. Demokrasi tipe ini adalah demokrasi rakyat, demokrasi patriotik bukan demokrasi yang melanggengkan kekuasaan sisa feodal yang bercorak oligarkis dan demokrasi yang mengabdi pada pemegang modal, demokrasi yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dengan membuang watak kompromis, korup dan pragmatis jauh-jauh dari kehidupan rakyat. Semangat demokrasi rakyat sudah seharusnya dikobarkan sebagai jawaban terhadap keadaan dan kenyataan konkrit kehidupan berbangsa dan bernegara.


c. korupsi dan rakyat indonesia 


Berhasilnya rakyat Indonesia merebut kemerdekaan dari colonial belanda dibarengi dengan fenomena pengambilalihan seluruh sumber-sumber ekonomi yang berskala besar oleh rakyat, baik pertambangan, perkebunan dsb. Proses tersebut diakhiri dengan pengambilalihan atas nama Negara yang dilakukan oleh TNI (kala itu belum bernama TNI) kemudian dilanjutkan dengan penempatan personil TNI dalam manejerial pengelolaannya. Dari fenomena tersebutlah awal pertama lahirnya sebuah kelompok atau kaum yang menjadi pengendali birokrasi dan pada gilirannya menjadi kaum yang mengumpulkan segenap kekayaan dengan menggunakan kekuasaan birokrasi (kapitalis birokrat/kabir). Dalam makna yang sempit kabir/koruptor adalah merupakan individu atau kelompok yang berperan sebagai pengendali birokrasi yang menggunakan wewenangnya untuk mengambil dan merampok kekayaan Negara atau bekerjasama dengan pihak yang berhubungan dengan otoritas birokrasi yang dipimpinnya. 


Perkembangan dari perilaku korup ini bukan hanya dilakukan oleh aparatur Negara namun merembes sampai ketingkatan massa rakyat terbawah. Salahsatu tuntutan terhadap pemberantasan korupsi merupakan agenda pokok yang diusung oleh gerakan 98, namun seperti hipotesa yang berkembang dimasyarakat tentang karakteristik rakyat Indonesia bahwa, bahwa rakyat Indonesia mempunyai perilaku yang pemarah, pemaaf dan pelupa. Jadilah kemudian kasus-kasus korupsi menguap, hilang dan seakan terhapus oleh perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja misalnya kasus BLBI, kasus Agus condro yang fenomenal sebagai seorang yang “gentle man” yang berani keluar dan menyatakan diri berlawan dengan sistem yang mengkebiri naluri patriotismenya. Hal baru yang menjadi gonjang-ganjing terkait kasus korupsi adalah fenomena cicak vs buaya, dimana dalam kasus tersebut melibatkan lembaga Negara yang penting dalam penegakkan pemberantasan korupsi dan supremasi hukum. Sampai terbentuknya opini dan harapan yang berlebihan tentang keberadaan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi diindonesia. Statement dan kebijakan SBY dalam upaya memadamkan pertentangan hebat tesebut adalah sebuah isyarat kepada dua kelompok bertikai untuk melakukan perdamaian dengan bahasa yang bersayap dan tekanan tidak mau mencampuri proses hukum yang sesungguhnya lebih dari itu merupakan intervensi dari seorang presiden terhadap lembaga yang ada dengan tujuan meredam kemarahan rakyat, sehingga persoalan tidak menjadi persoalan antara rakyat dengan penguasa. Proses hukum Bibit-Chandra dihentikan terkait dengan statement SBY tersebut. Disisi lain terdapat kasus dimana seorang ibu mencuri 3 buah kakao dihukum pidana 6 bulan. Studi komparasi dari hal tersebut mempertegas bahwa hukum sesungguhnya tidak berlaku bagi mereka yang berkuasa, namun objek hukum semata-mata adalah rakyat. Kondisi aktual tersebut semakin menipiskan harapan dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan, lebih jauh terhadap sistem yang dijalankan. Kelanjutan dari “dagelan” yang dimainkan oleh seluruh elit kekuasaan tersebut berujung pada kasus century. Hal ini mampu menyedot perhatian rakyat, dimana banyak kelompok politik (terutama partai-partai yang mempunyai wakil disenayan) bertarung dalam kasus ini. Banyak isu dan gagasan yang bermunculan, mulai dari menonaktifan Boediono dan Srimulyani sampai dengan penggulingan terhadap SBY sebagai presiden RI. Nada miring dan minor pada proses “konstitusional” di DPR-RI berkembang sedemikian rupa dengan hipotesis bahwa kasus ini akan diakhiri dengan kompromi berbagi kekuasaan atau jabatan dan tentu saja uang ikut menyertainya. Sesuai dengan wataknya yang kompromis tentu saja hal ini bisa dan dapat menjadi parameter yang kuat. Apabila ditelisik lebih jauh, ini adalah bentuk ketidakpercayaan rakyat yang akut terhadap seluruh partai politik yang ada berdasarkan pengalaman yang didapatinya selama ini. Penyelesaian kasus ini tidak mungkin disandarkan kepada golongan yang pragmatis, korup dan oportunis, namun pertanyaan kemudian yang muncul, kepada siapa rakyat akan menyandarkan nasibnya?? Jawabannya tentu dengan perjuangan rakyat sendirilah keadaan itu dapat berubah. Upaya dan kerjakeras untuk merubah keadaan tersebut dengan menumbuhkan dan mengobarkan semangat dan budaya patriotik dikalangan rakyat sebagai jawaban terhadap keadaan dan menjadi lawan langsung dari kebudayaan liberal yang berkembang. Menetapkan musuh sesungguhnya dari rakyat Indonesia, yaitu komprador dan koruptor/kapitalis birokrat. Musuh-musuh rakyat tersebut dapat disingkirkan dari kehidupan rakyat Indonesia dengan mempertebal dan mengkokohkan jiwa patriotisme yang pada gilirannya memperjuangkan kehidupan berbangsa dan bernegara atau demokrasi rakyat sebagai antitesa dari keadaan sekarang.


Samson, SE
Jakarta 23 desember 2009 


ditulis sebagai bahan diskusi dalam seminar yang di adakan oleh HMI UIN

No comments: