Saturday, July 2, 2011

Politik Dalam Seni dan Sastra di Indonesia

Politik Dalam Seni dan Sastra di Indonesia

Oleh Samson, SE 

Terwujudnya kebudayaan baru merupakan keinginan untuk melenyapkan ketimpangan, penyelewengan terhadap kehendak rakyat dan penindasan yang terjadi terhadapnya, sebuah kebudayaan yang tercipta berkat dan atas kerjakeras seniman dan sastrawan yang menceburkan dirinya secara utuh bersama dengan kekuatan rakyat, itu adalah sebuah pernyataan politik seniman dan sastrawan karena perjuangan yang dilakukan bukan hanya memerlukan kekuatan pendobrak yang mengepal tinju saja namun juga tentara kebudayaan yang menggenggam pena!!!!!


Upaya untuk menampikkan kenyataan dalam proses berkarya seorang seniman atau satrawan dipengaruhi oleh keadaan sekelilingnya, masyarakat yang ada disekelilingnya merupakan sebuah kenaifan. Suka atau tidak, lingkungan dimana sastrawan atau seniman itu hidup, mempengaruhi alam pikir, imajinasi serta tentu berdampak kuat terhadap proses penciptaan sebuah karya. Membicarakan rakyat dengan segala pertentangan didalamnya merupakan sebuah pernyataan dan penyajian politik yang dapat kita telisik kemana sesungguhnya keberpihakkan dari sebuah karya dan tentunya keberpihakkan dari seniman dan sastrawan yang bersangkutan, lebih jauh lagi alam pikir seorang seniman dan satrawan tersebut dalam menghasilkan sebuah karya tentu merupakan pencerminan langsung dari kesadaran yang di milikinya. Sebuah karya sastra atau karya seni mempunyai maksud dan peruntukkan, pertanyaan besar yang timbul didalam karya tersebut adalah; untuk apa dan diperuntukkan bagi siapa karya tersebut?. Berangkat dari pertanyaan sederhana tersebut tentu banyak hal yang dapat diperbincangkan, mulai dari salah paham sampai kepada paham yang salah yang timbul dari perbincangan yang dilakukan. 

Perdebatan soal politik dalam lingkup seni dan sastra bukan merupakan hal baru dan sebuah pembahasan yang terbilang langka dinegeri kita ini. Sejarah panjang perdebatan soal ini dimulai sejak lahirnya kekuatan organisasi kebudayaan yang menjamur pada era soekarno( orde lama).mulai dengan organisasi yang mentasbihkan dirinya sebagai organisasi kebudayaan dengan jargon "politik sebagai panglima" dan dikuatkan dengan tesis seni untuk rakyat sampai dengan organisasi yang menolak mencampuradukkan seni dengan politik dengan tesis "seni untuk seni". Dari perjalanan perdebatan tersebut banyak memberikan kontribusi positif bagi perkembanganseni dan sastra diindonesia khususnya pada lapangan olah pikir dan kreasi dalam seni dan sastra. Meskipun perdebatan tersebut diakhiri dengan fakta sejarah yang memilukan, dimana terjadinya peristiwa yang sampai hari ini menjadi "teka-teki" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu "pembantaian massal" yang dilakukan oleh rezim militeristik soeharto. Banyak pekerja seni dan sastra yang ditangkap, diculik dan bahkan hilang atau lebih tepatnya dihilangkan karena diasosiasikan dengan sebuah partai politik kala itu yang menjadi lawan langsung dari kepentingan kelompok Soeharto. Dari sekelumit sejarah tersebut tidak dapat ditolak bahwa keterkaitan antara politik dengan seni dan sastra merupakan sebuah relasi kuat dan saling pengaruhi dalam perkembangan arah bangsa kedepan.

a. sepintas sejarah perspektif politik dalam seni dan sastra diindonesia.

Pengintegrasian antara politik dengan seni dan sastra di Indonesia tidak terlepas dari lahirnya kekuatan dan organisasi yang mempunyai watak patriotik yang bukan sebatas cinta tanah air saja namun juga semangat anti penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme serta sisa feodalisme (substansi pokok dari hal tersebut adalah cinta pada rakyat). Proses panjang rakyat Indonesia dalam merebut kemedekaan yang dicapai pada tahun 1945 tidak hanya dilakukan dengan kekuatan senjata saja namun juga kekuatan seni dan sastra sebagai tenaga pendorong dari kekuatan utama (kekuatan bersenjata) tersebut untuk dapat dipahami, sampai pada telinga dan hati rakyat yang kemudian membangkitkan kesadaran untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan yang dialami. Sebut saja Mas Marco dengan samarata -samarasanya sebagai salah satu satrawan dari beberapa sastrawan yang melakukan perlawanan terhadap kolonilalisme Belanda. Karyanya tersebut membuat gelisah sang "kompeni" yang kemudian melakukan pelarangan terhadap karya itu dengan menyebutnya sebagai bacaan liar dan dibuat oleh seorang dengan kelompok yang yang tidak bertanggung jawab. Reaksi Belanda terhadap karya-karya yang menyerang kelangsungan kekuasaan penindasan di Indonesia bukan hanya pada wilayah kekuatan senjata namun juga membuat tandingan dengan terbitnya karya-karya balai pustaka sebagai jawaban dari gerakan yang dimainkan pada wilayah kesusastraaan dan mengeluarkan pernyataan bahwa satu-satunya penerbitan yang sah dan diakui hanyalah balai pustaka. Jenis karya tersebut merupakan titik berangkat awal dari dimulainya sastra modern di Indonesia yang mungkin lebih mudah mengingatnya dengan sebutan sastra revolusioner atau mungkin sastra pembebasan dan perlawanan. Menariknya, ketika semua gerakan politik dilarang oleh penguasa kala itu banyak orang-orang revolusioner yang bergerak pada kegiatan sastra dan seni. Salah satu yang paling dikenal adalah Cak Durasim dengan ludruknya yang memainkan kisah tentang kejamnya fasisme Jepang. Sudah barang tentu karya atau produk sastra dan seni yang dihasilkan oleh Marco dan Cak Durasim berujung pada penjara. Namun pengabdian karya- karya mereka kepada pembebasan rakyat yang meminta pengorbanan kemerdekaan pribadi mereka dengan tebusan penjara tersebut membuahkan hasil pada kemudian hari. Ini dapat dilihat dari karya WR. Supratman dengan Indonesia raya sebagai lagu kebangsaan dan pertanda bagi berhasilnya proses perjuangan rakyat Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan. Hal tersebut merupakan sebuah fakta bahwa keterkaitan antara berkesenian dan membuat karya sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa jika ada sastrawan-seniman yang mentabukan diri, mentabukan sastra-seni berbicara soal politik atas nama sastra dan seni, sesungguhnya mereka tidak kenal sejarah, lupa atau sengaja melupakan sejarah perkembangan masyarakat, tidak paham sejarah sastra-seni, dan tidak lain merupakan wujud mengasingkan diri, mengucilkan secara sukarela sastra-seni dari kehidupan. 

b. untuk apa dan untuk siapa karya seni dan sastra



Sebuah karya seni dan karya sastra mempunyai maksud dan peruntukkan ketika diciptakan. Pertama-tama sekali adalah untuk sipembuatnya dan kemudian tentu untuk para "penikmat" karya tersebut(sesuai segmentasi dari corak dan watak karya). Adalah sebuah bualan yang memuakkan ketika kita mengganggap bahwa karya seni dan sastra ada yang bebas nilai dan tidak mempunyai keberpihakkan, lebih tegas lagi menjauhi keadaan kehidupan rakyat yang konkrit. Ketika karya tersebut diusahakan menjauhi kehidupan rakyat dan politknya tentu secara langsung maupun tidak langsung merupakan sebuah usaha pembelaan terhadap penindas atas keberlangsungan kekuasaannya atau penindasannya. Itu merupakan segi yang paling pokok yang terdapat dalam sebuah karya, sehingga kita dapat mengatakan dengan lebih gamblang lagi bahwa seni dan sastra mesti dan pasti berpihak atau lebih keras dan tegas lagi bahwa seni dan sastra berklas dan mempunyai keberpihakan klas. Dengan meminjam istilah george lukacs tentang gagasan kesadaran kelas yaitu sebuah konsepsi tentang kultur yang telah dipolarisasi dengan kepentingan kelas mereka, dan mereka yang menduduki posisi proletar akan lebih tersulut kesadaran kelasnya daripada kelas borjuis karena sifat mereka yang tertindas. Ide yang lain dari Lukacs adalah Refikasi yaitu tereduksinya hubungan antar manusia karena menjadi relasi alat produksi. Dalil dasar reifikasi adalah "penurunan" nilai relasi manusia yang seharusnya hangat menjadi hubungan antar "manusia" karena kepentingan ekonomi. Di dalam masyarakat modern persoalan ini menjadi sedemikan akut sehingga kita merasa terasing dengan manusia yang lain. Melihat isi dan pikiran Lukacs tersebut dapatlah ita simpulkan bahwa keberpihakan sastra dan seni dibagi menurut klas, sehingga keberpihakan dan pembelaan terhadap klas yang ada, tidak dapat tidak merupakan sebuah politik, bahkan Lukacs dengan gamblang menegaskan bawa tidak terdapat satupun produk yang bebas dari kepentingan klas sehingga adalah tidak mungkin menciptakan hubungan yang "hangat" antara manusia satu dengan yang lainnya dengan posisi klas yang berbeda. Apabila kita korelasikan dengan karya seni dan sastra yang dihasilkan si sastrawan dan seniman, bahwa menikmati karya tanpa memberikan dampak bagi geliat kehidupan adalah sebuah keterasingan yang akan berdampak fatal bagi sastrawan dan seniman yang bersangkutan . Ukuran sederhana dari karya yang baik adalah mampu membawa sipenikmat larut dalam karya tersebut, ikut dalam alur estetiknya, bahkan mungkin mempengaruhi serta merubah pola dan cara pandang sipenikmat. Itu hanya akan didapati ketika sebuah karya mengangkat sesuatu yang hidup dan berkembang dalam kehidupan rakyat dan tentu angan tentang kehidupan itu sendiri. Populernya sebuah karya tentu hanya bisa dibagi dalam dua kelompok besar, pertama yaitu populer untuk penguasa dan yang kedua bagi rakyat yang terdiri dari buruh dan tani serta intelektual dan rakyat pekerja lainnya. Yang tersebut belakangan merupakan lapisan terbesar sehingga karya akan dinikmati oleh lebih besar lapisan dan bukan tidak mungkin akan dikenang sebagai karya yang abadi dan hidup dihati dan pikiran rakyat seperti layaknya Indonesia raya, padamu negeri, karya marco dan lainnya, bahkan yang belum terlalu jauh mungkin pramoedya ananta toer. 
Sampai sekarang pelarangan terhadap karya sastra dan seni masih terjadi di Indonesia. Pelarangan terhadap buku yang dikeluarkan kejaksaan agung sampai dengan pelarangan pembuatan film yang disutradarai oleh Eros djarot masih mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Bentuk represifitas kekuasaan terhadap karya merupakan sebuah ungkapan kepentingan klasnya maka tidak dapat tidak, itu adalah politik kekuasaan dalam merespon segala macam karya yang mengganggu kepentingan klas mereka. Pertanyaan bagi kita sekarang adalah mau apa dan kemana keberpihakkan kita akan kita arahkan?apa yang akan kita lakukan?.

Politik adalah pernyataan terpusat rakyat terhadap keinginan mereka, karena rakyat adalah satu-satunya sumber dari kegiatan dari karya seni dan sastra, maka melepaskan seni dan sastra dari rakyat adalah upaya mengasingkan diri dari kehidupan. 

Samson, SE


Jakarta 12 mei 2010
(ditulis sebagai bahan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh komunitas lesehan kebudayaan /kolekan)

No comments: